Langsung ke konten utama

BIOGRAFI 4 PARA PAHLAWAN NASIONAL

H.R Mohammad Mangoendiprojo dilahirkan pada tanggal 5 Januari 1905 di Sragen. Semasa hidupnya beliau mengalami perubahan dalam tiga zaman, dari seorang pangrehpraja yang umum.elikenal sebagai hamba aparat kolonial Belanda, kemudian di jaman pendudukan Jepang beliau masuk lembaga pendidikan Peta dan saat perang kemerdekaan beliau terbawa dalam arus kancah revolusi nasional di Surabaya yang menjaelikannya seorang republikan yang anti Belanda. Mohamad, panggilan akrab H.R Mohamad Mangoendiprodjo, saat kecilnya sudah mengenyam pendidikan yakni pendidikan yang diwarnai adat sopan santun mengingat suasana lingkungan keluarga masih diwarnai tradisi jawa yang memegang adat sopan santun, dimana perilaku anak didik disesuaikan dengan adat istiadat yang mengutamakan otoritas orang tua serta mematuhi segala nasehat dan kata orang tua dengan bersendikan norma-norma agama. Menyadari masa depan seorang anak banyak ditentukan oleh factor pendidikan dan faktor keturunan, maka padatahun 1913, Sastromardjono, ayah Mohammad, terdorong untuk menyekolahkan Mohamad yang saat itu berusia 8 tahun di Eurpese Lager School (ELS) di Solo, namun padatahun 1915 Mohamad dipindahkan ke ELS di daerah Sragen dengan pertimbangan pendidikan agamanya, karena di Sragen Mohamad bisa ditipkan di rumah kakak ayahnya, seorang ulama, untuk mendidik agama. Pada tlihun 1921 Mohamad lulus dari ELS kemudian  melanjutkan ke Sekolah Teknik di Yogyakarta namun tidak sampai lulus, karena Mohamad memang tidak berbakat di bidang teknik, ayahnya mendaftarkannya di Opleiding School Voor Inlandse Ambtenaren (OSVIA) di Madiun hingga lulus tahun 1927. Pada masa pendudukan Belanda hingga Jepang karirnya sebagai pegawai dimulai sebagai pelayan wedana Gorang Gareng di Madiun, Mantri Polisi Lapangan di Lamongan, Wakil Kepala Jaksa Kalisosok Surabaya, dan pada talmn 1934 Mohamad dipromosikan menjadi Asisten Wedana Kecamatan Diwek Jombang.
Pada pendudukan Jepang jiwa Mohamad terpanggil untuk mengikuti pendidikanPembela Tanah Air (PETA) dan diangkat menjadi daidanco (Komandan Batalyon) PETA di Daidan (Batalyon) III Sidoarjo, Surabaya. Di Sidoarjo di bawah kepemimpinannya, jiwa keprajuritan jiwa persatuan dan kesatuan membela tanahair dibangkitkan kembali setelah lenyap terbuai semenjak abad 17 dan saat revolusi pecah, Mohamad bersama ex perwira PETA lainnya membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Tugas dan jabatan lain yang dipegang dalam ketentaraan antara lain bendahara BKR di masa BKR Propinsi dipimpin oleh Moestopo dan menjadi Kepala Urusan Angakatan Darat saat Menteri Pertahanan RI ad Interirn dijabat oleh Moestopo. Pada tahun 1950 hingga 1988 karirnya dilalui sebagai abdi Negara lagi yakni sebagai Pamong Praja, tahun 1950-1955 menjadi Bupati Ponorogo, tahun 1955 Mohamad memperoleh promosi diangkat menjadi Residen Lampung sampai pensiun di tahun 1962, sejak 1971 Mohamad terpilih menjadi Anggota Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai utusan daerah Lampung hingga 1992. Pada usia senjanya, Mohamad memperoleh pengakuan dan penghargaan dari pemerintah Republik Indonesia atas pengabdiannya dalam perjuangan Nasional di masa lampau, pada tanggal 14 Agustus 1986 di Istana Negara Jakarta bersama dengan 10 orang tokoh lain, Mohamad dianugerahi Bintang Mahaputra langsung dari Presiden Soeharto sebagai penghargaan tertinggi atas jasa-jasanya terhadap negara dan bangsa Indonesia.

Letjen TNI (Purn) Djamin Ginting adalah seorang pejuang kemerdekaan menentang pemerintahan Hindia Belanda di Tanah Karo. Dia adalah tokoh perjuangan di Sumatera Utara dan pernah membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) Kabanjahe. Djamin Ginting dilahirkan di desa Suka, kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo, Sumatera Utara pada 12 Januari 1921. Setelah menamatkan pendidikan sekolah menengah dia bergabung dengan satuan militer yang diorganisir oleh opsir-opsir Jepang. Pemerintah Jepang membangun kesatuan tentara yang terdiri dari anak-anak muda di Taneh Karo guna menambah pasukan Jepang untuk mempertahankan kekuasaan mereka di benua Asia. Djamin Ginting muncul sebagai seorang komandan pada pasukan bentukan Jepang itu.
Setelah Jepang menyerah kepada sekutu pada Perang Dunia II, pada 12 Januari 1921 Rencana Jepang untuk memanfaatkan putra-putra Karo, Sumatera Utara, memperkuat pasukan Jepang menjadi kandas. Jepang menelantarkan daerah kekuasaan mereka di Asia dan kembali pulang ke Jepang. Sebagai seorang komandan, Djamin Ginting bergerak cepat untuk mengkonsolidasi pasukannya. Dia bercita cita untuk membangun satuan tentara di Sumatera Utara. Dia menyakinkan anggotanya untuk tidak kembali pulang ke desa masing masing. Ia memohon kesediaan mereka untuk membela dan melindungi rakyat Karo dari setiap kekuatan yang hendak menguasai daerah Sumatera Utara. Situasi politik ketika itu tidak menentu. Pasukan Belanda dan Inggris masih berkeinginan untuk menguasai daerah Sumatera. Dikemudian hari anggota pasukan Djamin Gintings ini akan mucul sebagai pionir-pionir pejuang Sumatera bagian Utara dan Karo. Kapten Bangsi Sembiring, Kapten Selamat Ginting, Kapten Mumah Purba, Mayor Rim Rim Ginting, Kapten Selamet Ketaren, dan lain lain adalah cikal bakal Kodam II/Bukit Barisan yang kita kenal sekarang ini. Ketika Letkol. Djamin Gintings menjadi wakil komandan Kodam II/Bukit Barisan, dia berselisih paham dengan Kolonel M. Simbolon yang ketika itu menjabat sebagai Komandan Kodam II/Bukit Barisan. Djamin Ginting tidak sepaham dengan tidakan Kolonel M.Simbolon untuk menuntut keadilan dari pemerintah pusat melalui kekuatan bersenjata. Perselisihan mereka ketika itu sangat dipengaruhi oleh situasi politik dan ekonomi yang melanda Indonesia. Disatu pihak, Simbolon merasa Sumatera dianak-tirikan oleh pemerintah pusat dalam bidang ekonomi. Dilain pihak, Ginting sebagai seorang tentara profesianal memegang teguh azas seorang prajurit untuk membela negara Indonesia. Dalam rangka menghadapi gerakan pemberontakan Nainggolan di Medan (Sumatera Utara) maka Panglima TT I, Letkol Inf Djamin Ginting melancarkan Operasi Bukit Barisan. Operasi ini dilancarkan pada tanggal 7 April 1958. Dengan dilancarkannya operasi Bukit Barisan II ini, maka pasukan Nainggolan dan Sinta Pohan terdesak dan mundur ke daerah Tapanuli. Karier militer Djamin Ginting meningkat setelah pengakuan kedaulatan pada 27 Desember 1949. Dia adalah Komandan Pertama Komando Pangkalan atau Komando Basis Kota Medan (KBKM) yang kemudian diubah menjadi Komando Militer Kota Besar (KMKB) Medan. Pada Desember 1956, Panglima TT-I Bukit Barisan Kolonel Maludin Simbolon membentuk Dewan Gajah dan menyatakan memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat. Djamin selaku Kepala Staf TT-I Bukit Barisan menentang keputusan atasannya. Hal itu menunjukkan kesetiaannya pada Pemerintah RI. Djamin Ginting menjadikan wilayah komandonya sebagai pangkalan operasi pasukan pemerintah menggempur PRRI di Sumatera. Sejak tahun 1966, Djamin Ginting lebih banyak menduduki jabatan non-militer, mulai dari Sekretaris Presiden merangkap Wakil Sekretaris Negara. Jabatan terakhirnya adalah Duta Besar RI di Kanada.
Dipenghujung masa baktinya, Djamin Ginting mewakili Indonesia sebagai seorang Duta Besar untuk Kanada. Di Kanada ini pulalah Djamin Ginting, mengakhiri hayatnya. Semasa hidupnya, Djamin Gintings menulis beberapa buku. Satu diantaranya "Bukit Kadir" mengisahkan perjuangannya di daerah Karo sampai ke perbatasan Aceh melawan Hindia Belanda. Seorang anggotanya, Kadir, gugur disebuah perbukitan di Tanah Karo dalam suatu pertempuran yang sengit dengan pasukan Belanda. Bukit itu sekarang dikenal dengan nama Bukit Kadir. Ia meninggal di Ottawa, Kanada, pada 23 Oktober 1974 pada umur 53 tahun. Djamin Ginting meninggalkan 5 orang anak. Salah satunya seorang putri bernama Rimenda br Ginting, SH, yang sekarang menjabat sebagai ketua umum Himpunan Masyarakat Karo Indonesia.

KH. Abdul Wahab Hasbullah adalah seorang ulama yang sangat alim dan tokoh besar dalam NU dan bangsa Indonesia. Beliau dilahirkan di Desa Tambakberas, Jombang, Jawa Timur pada bulan Maret 1888. silsilah KH. Abdul Wahab Hasbullah bertemu dengan silsilah KHM. Hasyim Asy’ari pada datuk yang bernama Kiai Shihah. Semenjak kanak-kanak, Abdul Wahab dikenal kawan-kawannya sebagai pemimpin dalam segala permainan. Beliau dididik ayahnya sendiri cara hidup,seorang santri. Diajaknya shalat berjamaah, dan sesekali dibangunkan malam hari untuk shalat tahajjud. Kemudian K.H. Hasbullah membimbingnya untuk menghafalkan Juz Ammah dan membaca Al Quran dengan tartil dan fasih. Lalu beliau dididik mengenal kitab-kitab kuning, dari kitab yang paling kecil dan isinya diperlukan untuk amaliyah sehari-hari. Misalnya Kitab Safinatunnaja, Fathul Qorib, Fathul Mu'in, Fathul Wahab, Muhadzdzab dan Al Majmu'. Abdul Wahab juga belajar Ilmu Tauhid, Tafsir, Ulumul Quran, Hadits, dan Ulumul Hadits. Kemauan yang keras untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak semenjak masa kecilnya yang tekun dan cerdas memahami berbagai ilmu yang dipelajarinya. Sampai berusia 13 tahun Abdul Wahab dalam asuhan langsung ayahnya. Setelah dianggap cukup bekal ilmunya, barulah Abdul Wahab merantau untuk menuntut ilmu. Maka beliau pergi ke satu pesantren ke pesantren lainnya. Kemudian Abdul Wahab belajar di pesantren Bangkalan, Madura yang diasuh oleh K.H. Kholil Waliyullah. Beliau tidak puas hanya belajar di pesantren-pesantren tersebut, maka pada usia sekitar 27 tahun, pemuda Abdul Wahab pergi ke Makkah. Di tanah suci itu mukim selama 5 tahun, dan belajar pada Syekh Mahfudh At Turmasi dan Syekh Yamany. Setelah pulang ke tanah air, Abdul Wahab langsung diterima oleh umat Islam dan para ulama dengan penuh kebanggaan. Langkah awal yang ditempuh K.H. Abdul Wahab Hasbullah, kelak sebagai Bapak Pendiri NU, itu merupakan usaha membangun semangat nasionalisme lewat jalur pendidikan. Nama madrasah sengaja dipilih 'Nahdlatul Wathan' yang berarti: 'Bergeraknya/bangkitnya tanah air', ditambah dgngan gubahan syajr-syair yang penuh dengan pekik perjuangan, kecintaan terhadap tanah tumpah darah serta kebencian terhadap penjajah, adalah bukti dari cita-cita murni Kiai Abdul Wahab Hasbullah untuk membebaskan. belenggu kolonial Belanda. Namun demikian, tidak kalah pentingnya memperhatikan langkah selanjutnya yang akan ditempuh Kiai Wahab, setelah berhasil mendirikan 'Nahdlatul Wathan'. Ini penting karena dalam diri Kiai 'Wahab agaknya tersimpan beberapa sifat yang jarang dipunyai oleh orang lain. Beliau adalah tipe manusia yang pandai bergaul dan gampang menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Tetapi, beliau juga seorang ulama yang paling tangguh mempertahankan dan membela pendiriannya. Beliau diketahui sebagai pembela ulama pesantren (ulama bermadzhab) dari serangan-serangan kaum modernis anti madzhab. Bertolak dari sifat dan sikap Kiai Wahab itulah, maka mudah dipahami apabila kemudian beliau mengadakan pendekatan dengan ulama-ulama terkemuka seperti, K.H. A. Dachlan, pengasuh pondok Kebondalem Surabaya, untuk mendirikan madrasah 'Taswirul Afkar'. Semula 'Taswirul Afkar' yang berarti 'Potret Pemikiran' itu, merupakan kelompok diskusi yang membahas berbagai masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Dan anggotanya juga terdiri atas para ulama dan ulama muda yang mempertahankan sistem bermadzhab. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya sekitar tahun 1919, kelompok ini ditingkatkan statusnya menjadi madrasah 'Taswirul Afkar' yang bertugas mendidik anak-anak lelaki setingkat sekolah dasar agar menguasai ilmu pengetahuan agama tingkat
elementer. Bertempat di Ampel Suci (dekat Masjid Ampel Surabaya), madrasah 'Taswirul Afkar' bergerak maju. Puluhan dan bahkan kemudian ratusan anak di Surabaya bagian utara itu menjadi murid 'Taswirul Afkar', yang pada saat itu (tahun-tahun permulaan) dipimpin K.H. A. Dachlan. Namun demikian, bukan berarti meniadakan kelompok diskusi tadi. Kegiatan diskusi tetap berjalan dan bahkan bertambah nampak hasilnya, berupa 'Taswirul Afkar'. Dan madrasah ini hingga sekarang masih ada dan bertambah megah. Hanya tempatnya telah berpindah, tidak lagi di Ampel Suci, tetapi di Jalan Pegirian Surabaya. Hingga di sini Kiai Wahab telah berada di tiga lingkungan: Syarikat Islam (SI) berhubungan dengan H.O.S. Tjokroaminoto, Nahdlatul Wathan dengan K.H. Mas Mansur, dan Taswirul Afkar dengan K.H. A. Dachlan. Tiga lingkungan itu pun memiliki ciri-ciri yang berbeda-beda. Tjokroaminoto lebih condong pada kegiatan politik; K.H. Mas Mansur lebih dekat dengan kelompok anti madzhab sedangkan K.H. A. Dachlan tidak berbeda dengan Kiai Wahab, yakni ulama yang mempertahankan sistem madzhab. Dalam hubungannya dengan gerakan pembaruan itu, agaknya Kiai Wahab seringkali tidak dapat menghindari serangan-serangan mereka baik yang ada di SI maupun di K.H. Mas Mansur sendiri. Meski tujuan utamanya membangun nasionalisme, serangan-serangan kaum modernis seringkali dilancarkan hingga Kiai Wahab perlu melayaninya. Di sinilah mulai tampak perbedaan pendapat antara Kiai Wahab dengan K.H. Mas Mansur. Peristiwa ini tampaknya sudah terbayang dalam pikiran Kiai Wahab, sehingga tidak perlu mempengaruhi semangat perjuangannya. Bahkan beliau bertekad untuk mengembangkan Nahdlatul Wathan ke berbagai daerah. Dengan K.H. Mas Alwi, kepala sekolah yang baru, Kiai Wahab membentuk cabang-cabang baru: Akhul Wathan di Semarang, Far'ul Wathan di Gresik, Hidayatul Wathan di Jombang, Far'ul Wathan di Malang, Ahlul Wathan di Wonokromo, Khitabul Wathan di Pacarkeling, dan Hidayatul Wathan di Jagalan. Apa pun nama madrasah di beberapa cabang itu pastilah dibelakangnya tercantum nama 'Wathan' yang berarti 'tanah air'. Ini berarti tujuan utamanya adalah membangun semangat cinta tanah air. Dan syair 'Nahdlatul Wathan' berkumandang di berbagai daerah dengan variasi cara menyanyikannya sendiri-sendiri. Misalnya di Tebuireng, hingga tahun 1940-an syair tersebut tetap dinyanyikan para santri setiap kali akan dimulainya kegiatan belajar di sekolah. Dan setiap hendak menyanyikan syair tersebut, para murid santri diminta berdiri tegak sebagaimana layaknya menyanyikan lagu kebangsaan 'Indonesia Raya'. Seperti telah disinggung, bahwa selain Kiai Wahab harus memperhatikan Nahdlatu1 Wathan dan juga keterlibatannya di SI, beliau juga tidak dapat membiarkan serangan-serangan kaum modernis yang dilancarkan kepada ulama bermadzhab. Lagi pula, serangan-serangan itu tidak mungkin dapat dihadapi sendirian. Sebab itu, pada tahun 1924, Kiai Wahab membuka kursus 'masail diniyyah' (khusus masalah-masalah keagamaan) guna menambah pengetahuan bagi ulama-ulama muda yang mempertahankan madzhab. Kegiatan kursus ini dipusatkan di madrasah 'Nahdlatul Wathan' tiga kali dalam seminggu. Dan pengikutnya ternyata tidak hanya terbatas dari Jawa Timur saja, melainkan juga ada yang dari Jawa Tengah, Jawa Barat, dan beberapa lagi dari Madura. Jumlah peserta kursus sebanyak 65 orang. Karena peserta begitu banyak, maka .Kiai Wahab meminta teman-temannya untuk membantu. Di antara teman-temannya yang bersedia mendampingi ialah KH. Bishri Syansuri (Jombang), KH. Abdul Halim Leuwimunding (Cirebon), KH. Mas Alwi Abdul Aziz dan KH. Ridlwan Abdullah keduanya dari Surabaya, K.H. Maksum dan K.H. Chalil keduanya dari Lasem, Rembang. Sedangkan dari kelompok pemuda yang setia mendampingi Kiai Wahab ialah: Abdullah Ubaid, Kawatan Surabaya, Thahir Bakri, dan Abdul Hakim, Petukangan Surabaya, serta Hasan dan Nawawi, keduanya dari Surabaya. Dengan demikian, Kiai Wahab telah juga membangun pertahanan cukup ampuh bagi menolak serangan-serangan kaum modernis. Enam puluh lima ulama yang dikursus, agaknya dipersiapkan betul untuk menjadi juru bicara tangguh dalam menghadapi kelompok pembaru, sehingga dalam perkembangan berikutnya, ketika berkobar perdebatan seputar masalah 'khilafiyah' di beberapa daerah, tidak lagi perlu meminta kedatangan Kiai Wahab, tapi cukup dihadapi ulama-ulama muda peserta kursus tersebut. Pada saat pemimpin-pemimpin Islam mendapat undangan dari Raja Hijaz lalu membentuk Komite Khilafat, K.H. Abd. Wahab Hasbullah mengusulkan agar delegasi ke Makkah menuntut dilindunginya madzahibul arba' ah di Makkah - Madinah. Dan setelah mengetahui usulnya kurang diperhatikan oleh tokoh-tokoh SI dan Muhammadiyah, lalu KH. Abd. Wahab atas izin KH.Hasyim Asy' ari membentuk Komite Hijaz untuk mengirim delegasi sendiri ke Makkah - Madinah. Dan Komite Hijaz inilah yang kemudian melahirkan JAM’IYAH NAHDLATUL ULAMA, sehingga kehadiran NU tidak dapat dilepaskan dari perjuangan K.H. Abd. Wahab Hasbullah. Demikianlah selintas pintas riwayat K.H. Abdul Wahab Hasbullah dalam menegakkan semangat nasionalisme bangsa Indonesia dalam rangka mengusir penjajah di tanah tercinta Indonesia. Di samping itu beliau seorang tokoh besar Islam terutama dalam mempertahankan kebenaran madzhab dari serangan kaum yang menyebut dirinya modernis Islam.


Sukarni Kartodiwirjo memang tidak memegang peranan sentral dalam perjuangan kemerdekaan, namun peranannya sangat menentukan. Indonesia mungkin tak akan memproklamasikan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945, jika tidak ada Sukarni. Ia menculik Soekarno – Hatta dan memaksa kedua pemimpin itu menyatakan bahwa Indonesia sudah merdeka. Saat itu Sukarni yang mewakili generasi muda merasa gerah dengan sikap wait and see yang dipilih Bung Karno dan Bung Hatta menyikapi menyerahnya Jepang terhadap Sekutu. Kelompok anak muda itu kemudian menculik Soekarno – Hatta ke Rengasdengklok, Jawa Barat. Setelah ide memanfaatkan vacuum of power untuk menyatakan kemerdekaan disetujui, maka kedua pemimpin tersebut dibebaskan kembali ke Jakarta untuk memimpin rapat penyusunan teks proklamasi. Sukarni lahir di Blitar tahun 1916. Ia adalah aktivis militas yang pantang berkompromi. Masa kecilnya diwarnai dengan berbagai perkelahian dengan anak-anak Belanda. Hampir setiap hari, anak pedagang sapi ini menantang berkelahi sinyo-sinyo Belanda. Ketidaksukaannya terhadap penjajah rupanya merupakan pengaruh gurunya, Moh. Anwar. Pemuda Sukarni sempat menjadi ketua Indonesia Muda cabang Blitar. Pertemuannya dengan Bung Karno saat menempuh pendidikan di kweekschool (sekolah guru) di Jakarta, membuatnya makin tertarik pada dunia politik. Setelah menculik dan memaksa Soekarno – Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI, Sukarni juga aktif dalam berbagai episode perjuangan. Tokoh revolusioner pemberani ini berperan besar dalam perjalanan parlemen Indonesia. Saat negara masih belia, sehingga belum sempat dilaksanakan Pemilihan Umum, Sukarni mengusulkan agar sebelum terbentuk DPR dan MPR, tugas legislatif dijalankan oleh KNIP. Sukarni pulalah yang memperjuangkan pembentukan Badan Pekerja KNIP sebagai lembaga negara yang mewujudkan kedaulatan rakyat sekaligus pemimpin rakyat. Ia kemudian diangkat menjadi anggota DPRD dan Konstituante. Namun hubungannya dengan Bung Karno tidak mulus. Melalui Partai Murba, Sukarni menentang kebijakan-kebijakan Soekarno. Sikap itu harus dibayar mahal dengan kebebasannya. Sukarni keluar dari penjara setelah Orde Baru berkuasa. Ia wafat pada 7 Mei 1971 sewaktu menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung RI.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Permainan Tradisional Petak Jongkok

Candak Ndodok atau sering disebut dalam bahasa indonesia yaitu Petak Jongkok atau Tap Jongkok adalah salah satu permainan tradisional Indonesia yang tidak membutuhkan banyak peralatan untuk memulainya. Bahkan permaian ini bisa dimulai di mana saja tanpa persiapan apapun. Mengapa permainan tradisional ini disebut atau dijuluki permainan candak ndodok? Karena permainan candak ndodok ini merupakan permainan yang sangat unik. Permaian candak ndodok dimulai dengan sebuah gambreng. Gambreng adalah sebuah proses menentukan giliran yang biasanya dimulai dengan teriakan "Hom pim pah alaiyum gambreng!".  Biasanya permainan dimulai dengan semua pemain lari berpencar menjauhi si penjaga. Si penjaga harus mengejar pemain lainnya sampai berhasil menepuk (di mana saja) salah satu pemain. Bila si penjaga berhasil melakukan itu, posisi akan otomatis berubah. Orang yang ditepuk akan berjaga, sedangkan orang yang berjaga akan menjadi target penjaga. Para target bisa meloloskan diri dengan ca

DAMPAK DARI PENANGGULANGAN SAMPAH PLASTIK BAGI LINGKUNGAN

TUGAS MAKALAH PENGETAHUAN LINGKUNGAN “DAMPAK DARI PENANGGULANGAN SAMPAH PLASTIK BAGI LINGKUNGAN” Disusun Oleh: Nama          : Maulana NPM           : 35413348 Kelas          : 3ID02 FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI JURUSAN TEKNIK INDUSTRI UNIVERSITAS GUNADARMA DEPOK 2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1     Latar Belakang Lebih dari 1 triliun kantong plastik digunakan setiap tahun di seluruh dunia. Sekitar 2 juta kantong plastik digunakan setiap menit di seluruh dunia dan sekitar 32 juta ton sampah plastik dihasilkan setiap tahunnya, mewakili 12,7% dari total limbah padat. Menurut Riset  Greeneration , 1 orang di Indonesia rata-rata menghasilkan 700 kantong plastik per tahun. Manajemen sampah yang buruk, terutama di negara-negara berkembang, menjadi salah satu pemicunya. Di negara seperti Indonesia contohnya, angka pendaurulangan sampah termasuk rendah yakni di bawah 50 persen. Kesadaran untuk tidak membuang sampah sembarangan juga masih memprihatinkan. Tida

Aku Cinta Produk Indonesia

            Seperti yang dikatakan bapak Heppy Trenggono; “Membeli Indonesia. Membeli produk bukan karena lebih baik, bukan karena lebih murah tapi karena buatan Indonesia. Membela Indonesia. Sikap jelas dalam pembelaan. Membela martabat bangsa, membela kejayaan bangsa. Menghidupkan Persaudaraan. Aku ada untuk kamu, kamu ada untuk aku, kita ada untuk tolong menolong”. Saya sangat setuju dengan beliau, kata-katanya mampu memotivasi/mengerakkan hati saya untuk lebih mencintai produk indonesia. “Aku Cinta Produk Indonesia”. Mungkin kata-kata itu sudah tidak asing lagi di telinga kita. Sebuah kalimat yang tidak henti-hentinya dilontarkan pihak pemerintah dan produsen dalam negeri yang menyiratkan ajakan untuk seluruh masyarakat agar membeli dan memakai produk-produk yang diproduksi oleh produsen domestik. Hal ini dikarenakan pembelian produk dalam negeri yang memiliki dampak luar biasa terhadap perekonomian bangsa. Pembelian produk dalam negeri juga menumbuhkembangkan jati diri