Langsung ke konten utama

MENGAPA SURABAYA MENJADI SIMBOL SEBAGAI KOTA PAHLAWAN

Cerita Sejarah Kota Surabaya kental dengan nilai kepahlawanan. Sejak awal berdirinya, kota ini memiliki sejarah panjang yang terkait dengan nilai-nilai heroisme. Istilah Surabaya terdiri dari kata sura (berani) dan baya (bahaya), yang kemudian secara harfiah diartikan sebagai berani menghadapi bahaya yang datang. Nilai kepahlawanan tersebut salah satunya mewujud dalam peristiwa pertempuran antara Raden Wijaya dan Pasukan Mongol pimpinan Kubilai Khan di tahun 1293. Begitu bersejarahnya pertempuran tersebut hingga tanggalnya diabadikan menjadi tanggal berdirinya Kota Surabaya hingga saat ini, yaitu 31 Mei. Heroisme masyarakat Surabaya paling tergambar dalam pertempuran 10 Nopember 1945. Arek-arek Suroboyo, sebutan untuk orang Surabaya, dengan berbekal bambu runcing berani melawan pasukan sekutu yang memiliki persenjataan canggih. Puluhan ribu warga meninggal membela tanah air. Peristiwa heroik ini kemudian diabadikan sebagai peringatan Hari Pahlawan. Sehingga membuat Surabaya dilabeli sebagai Kota Pahlawan. Sejarah Surabaya juga berkaitan dengan aktivitas perdagangan. Secara geografis Surabaya memang diciptakan sebagai kota dagang dan pelabuhan. Surabaya merupakan pelabuhan gerbang utama Kerajaan Majapahit. Letaknya yang dipesisir utara Pulau Jawa membuatnya berkembang menjadi sebuah pelabuhan penting di zaman Majapahit pada abad ke - 14. Berlanjut pada masa kolonial, letak geografisnya yang sangat strategis membuat pemerintah Kolonial Belanda pada abad ke - 19, memposisikannya sebagai pelabuhan utama yang berperan sebagai collecting centers dari rangkaian terakhir kegiatan pengumpulan hasil produksi perkebunan di ujung Timur Pulau Jawa, yang ada di daerah pedalaman untuk diekspor ke Eropa.

KOTA PAHLAWAN, adalah julukan utama Kota Surabaya. Julukan Kota Pahlawan untuk Surabaya itu dianugerahkan langsung oleh Presiden pertama Republik Indonesia, Ir.H.Soekarno, tanggal 10 November 1950. Penganugerahan julukan Kota Pahlawan kepada Surabaya merupakan wujud sejarah bagaimana Arek-arek Suroboyo mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang sudah diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. Terjadinya berbagai rentetan peristiwa yang mencapai puncaknya dalam pertempuran heroik 10 November 1945. Untuk menandai Surabaya sebagai Kota Pahlawan, Presiden Soekarno juga memancangkan bukti monumental di kota ini, yakni didirikannya sebuah tugu yang bernama Tugu Pahlawan.
Surabaya memang banyak julukan dan predikat selain Kota Pahlawan. Surabaya pernah berjuluk kota Indamardi. Singkatan dari: Industri, Perdagangan, Maritim dan Pendidikan. Singkatan Indamardi kemudian dipopolarkan lagi menjadi Budi Pamarinda, kepanjangannya: Budaya, Pendidikan, Pariwisata, Maritim, Industri dan Perdagangan. Jadi, antara Indamardi dengan Budi Pamarinda sebenarnya sama. Hanya, penekanan Budaya dan Pariwisata lebih ditonjolkan, sehingga kedudukan budaya dan pariwisata di Kota Surabaya, sejajar dengan Indamardi.
Selama ini, budaya hanya dijadikan sebagai bagian dari pendidikan. Masalah budaya di Surabaya mungkin banyak yang terabaikan, sehingga diperlukan adanya penekanan pada kata budaya. Adanya penonjolan kata budaya dalam selogan kota ini, maka unsur budaya perlu digali lebih mendalam dan dikembangkan. Begitu pula halnya dengan pariwisata, selama ini dunia usaha kepariwisataan di Surabaya dijadikan atau dianggap sebagai bagian dari industri, yakni industri jasa kepariwisataan. Namun, berdasarkan pandangan dan kacamata orang-orang pariwisata, kegiatan kepariwisataan merupakan disiplin tersendiri yang mencakup berbagai aspek. Tidak hanya Budaya dan Pariwisata yang dijadikan pelengkap julukan Kota Surabaya, tetapi juga kata “Garnizun”. Sehingga pernah pula diusulkan julukan tambahan Surabaya dari Indamardi, menjadi Indamardi Garpar (Garnizun dan Pariwisata). Pengertian Garnizun, menyatakan bahwa di Kota Surabaya ini lengkap dengan seluruh kesatuan militer. Di sini terdapat pangkalan dan kegiatan operasional TNI-Angkatan Darat, TNI-Angkatan Laut dan TNI-Angkatan Udara, di samping juga Kepolisian. Surabaya juga berjuluk kota Adipura Kencana. Julukan yang pernah disandang kota Surabaya pada tahun 1980-an hingga akhir 1990-an. Adipura Kencana adalah sebuah predikat untuk kota terbersih di Nusantara. Memang, pada tahun 1992, 1993 dan 1995, Surabaya pernah mendapat anugerah piala ”Adipura Kencana” dari Pemerintah Pusat sebagai Kota Raya “terbersih”. Sebelum memperoleh Adipura Kencana, Surabaya memperoleh piala Adipura lima kali berturut-turut tahun 1988, 1989, 1990, 1991 dan 1992. Tetapi, status Surabaya sebagai kota raya terbersih di Indonesia, sempat sirna dan merosot tajam. Namun sekarang, predikat itu kembali diraih, bahkan Surabaya bukan lagi sekedar kota terbersih, tetapi juga kota yang indah dan nyaman dengan “sejuta taman”. Di mana-mana bersih, hijau dengan taman-taman yang indah. Apabila digali aktivitas yang ada di Kota Surabaya ini, tidak terlepas dari semua julukan itu. Namun, julukan sebagai “Kota Pahlawan” dinilai paling istimewa. Sebab, tidak ada kota di Indonesia ini yang dijuluki “Kota Pahlawan”, kendati hampir seluruh kota di Indonesia mempunyai semangat heroik dan perjuangan kepahlawanan. Seyogyanya para petinggi di Kota Pahlawan ini benar-benar menghayati arti dari julukan itu. Pengertian kepahlawanan di Kota Pahlawan Surabaya ini seharusnya tercermin dalam berbagai hal. Baik ciri, penampilan yang khas, serta watak dan wujud nyata dari kota ini. Artinya, saat memasuki Kota Surabaya, kesan pertama bagi orang yang belum pernah ke Surabaya, adalah nuansa kepahlawanan itu. Sebenarnya itulah yang diinginkan oleh Dwitunggal Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia, Soekarno-Hatta. Mereka berdua, sebagai saksi sejarah tentang semangat kepahlawanan Arek-arek Suroboyo dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945. Bung Karno juga terkesan dengan peristiwa perobekan bendera di Hotel Orange atau Hotel Yamato di Jalan Tunjungan yang dikenal dengan “insiden bendera” tanggal 19 September 1945. Apalagi sejak saat itu, kegiatan perlawanan masyarakat Surabaya terhadap penjajah dan kaum kolonial semakin hebat dan gigih, maka tak pelak lagi Bung Karno dan Bung Hatta, langsung datang ke Surabaya. Hingga terjadi puncak perjuangan Arek Suroboyo, pada tanggal 10 November 1945. Lima tahun kemudian, kesan Bung Karno terhadap Surabaya semakin mendalam. Ide pembangunan Tugu Pahlawan di Kota Surabaya, langsung mendapat perhatian Bung Karno. Untuk pertama kali di tahun 1950, Bung Karno menetapkan 10 November sebagai “Hari Pahlawan”. Sekaligus, Surabaya mendapat predikat “Kota Pahlawan”. Julukan sebagai Kota Pahlawan, juga dikaitkan dengan sejarah Surabaya. Sewaktu tahun 1293, lebih 700 tahun atau tujuh abad yang silam, Raden Wijaya dari Kerajaan Majapahit berjuang mengusir Tentara Tartar yang dipimpin Khu Bilai Khan, tidak lepas dari peranserta rakyat Surabaya yang waktu itu masih bernama Hujunggaluh. Nah, karena kepahlawanan sudah menjadi ciri Kota Surabaya, perlu dilakukan koreksi total, sehingga julukan Kota Pahlawan bagi Surabaya tidak ditelan oleh kehidupan masyarakat modern. Peninggalan sejarah tentang kepahlawananArek Suroboyo ini patut dilestarikan. Selain itu, layak pula Kota Surabaya dijadikan “kamus kepahlawan”. Dengan berjuluk Kota Pahlawan, maka dunia dapat merujuk arti dan makna kepahlawanan dari Surabaya secara utuh. Misalnya, jika kita ingin mengetahui siapa-siapa saja Pahlawan Nasional, bahkan “pahlawan dunia”, nama itu ada di Surabaya. Museum pahlawan yang terdapat di Taman Tugu Pahlawan, belum banyak berbicara tentang sejarah kepahlawanan Surabaya sebagai Kota Pahlawan. Untuk itu, perlu disempurnakan dan lebih dilengkapi dengan berbagai koleksi sejarah.


Komentar

  1. http://makkawaruwe.blogspot.co.id/2015/02/pahlawan-dari-pinrang.html?showComment=1443294381351#c8957802666397005896
    ixa-27plus2.blogspot.co.id/2013/02/persembahan-bagi-germo-indonesia.html?showComment=1443294373081#c3351775942141725671

    BalasHapus
  2. http://makkawaruwe.blogspot.co.id/2015/02/pahlawan-dari-pinrang.html?showComment=1443294381351#c8957802666397005896
    ixa-27plus2.blogspot.co.id/2013/02/persembahan-bagi-germo-indonesia.html?showComment=1443294373081#c3351775942141725671

    BalasHapus
  3. Nice Info Jangan Lupa Kunjungi http://mandirimultimedia.blogspot.co.id/

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Permainan Tradisional Petak Jongkok

Candak Ndodok atau sering disebut dalam bahasa indonesia yaitu Petak Jongkok atau Tap Jongkok adalah salah satu permainan tradisional Indonesia yang tidak membutuhkan banyak peralatan untuk memulainya. Bahkan permaian ini bisa dimulai di mana saja tanpa persiapan apapun. Mengapa permainan tradisional ini disebut atau dijuluki permainan candak ndodok? Karena permainan candak ndodok ini merupakan permainan yang sangat unik. Permaian candak ndodok dimulai dengan sebuah gambreng. Gambreng adalah sebuah proses menentukan giliran yang biasanya dimulai dengan teriakan "Hom pim pah alaiyum gambreng!".  Biasanya permainan dimulai dengan semua pemain lari berpencar menjauhi si penjaga. Si penjaga harus mengejar pemain lainnya sampai berhasil menepuk (di mana saja) salah satu pemain. Bila si penjaga berhasil melakukan itu, posisi akan otomatis berubah. Orang yang ditepuk akan berjaga, sedangkan orang yang berjaga akan menjadi target penjaga. Para target bisa meloloskan diri dengan ca

DAMPAK DARI PENANGGULANGAN SAMPAH PLASTIK BAGI LINGKUNGAN

TUGAS MAKALAH PENGETAHUAN LINGKUNGAN “DAMPAK DARI PENANGGULANGAN SAMPAH PLASTIK BAGI LINGKUNGAN” Disusun Oleh: Nama          : Maulana NPM           : 35413348 Kelas          : 3ID02 FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI JURUSAN TEKNIK INDUSTRI UNIVERSITAS GUNADARMA DEPOK 2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1     Latar Belakang Lebih dari 1 triliun kantong plastik digunakan setiap tahun di seluruh dunia. Sekitar 2 juta kantong plastik digunakan setiap menit di seluruh dunia dan sekitar 32 juta ton sampah plastik dihasilkan setiap tahunnya, mewakili 12,7% dari total limbah padat. Menurut Riset  Greeneration , 1 orang di Indonesia rata-rata menghasilkan 700 kantong plastik per tahun. Manajemen sampah yang buruk, terutama di negara-negara berkembang, menjadi salah satu pemicunya. Di negara seperti Indonesia contohnya, angka pendaurulangan sampah termasuk rendah yakni di bawah 50 persen. Kesadaran untuk tidak membuang sampah sembarangan juga masih memprihatinkan. Tida

Aku Cinta Produk Indonesia

            Seperti yang dikatakan bapak Heppy Trenggono; “Membeli Indonesia. Membeli produk bukan karena lebih baik, bukan karena lebih murah tapi karena buatan Indonesia. Membela Indonesia. Sikap jelas dalam pembelaan. Membela martabat bangsa, membela kejayaan bangsa. Menghidupkan Persaudaraan. Aku ada untuk kamu, kamu ada untuk aku, kita ada untuk tolong menolong”. Saya sangat setuju dengan beliau, kata-katanya mampu memotivasi/mengerakkan hati saya untuk lebih mencintai produk indonesia. “Aku Cinta Produk Indonesia”. Mungkin kata-kata itu sudah tidak asing lagi di telinga kita. Sebuah kalimat yang tidak henti-hentinya dilontarkan pihak pemerintah dan produsen dalam negeri yang menyiratkan ajakan untuk seluruh masyarakat agar membeli dan memakai produk-produk yang diproduksi oleh produsen domestik. Hal ini dikarenakan pembelian produk dalam negeri yang memiliki dampak luar biasa terhadap perekonomian bangsa. Pembelian produk dalam negeri juga menumbuhkembangkan jati diri