Ada suatu keistimewaan dalam
permainan banjang, disamping mempunyai teknik-teknik kuncian yang mematikan,
benjang mempunyai teknik yang unik dan cerdik atau pada keadaan tertentu bisa
juga dikatakan licik dalam hal seni beladiri, misalnya dalam teknik mulung
yaitu apabila lawan akan dijatuhkan ke bawah, maka ketika posisinya di atas,
lawan yang di angkat tadi dengan cepat merubah posisinya dengan cara ngabeulit
kaki lawan memancing agar yang menjatuhkan mengikuti arah yang akan dijatuhkan,
sehingga yang mengangkat posisinya terbalik menjadi di bawah setelah itu
langsung yang diangkat tadi mengunci lawannya sampai tidak berkutik. Menurut
pendapat salah seorang sesepuh benjang yang tinggal di Desa Cibolerang Cinunuk
Bandung, bahwa nama benjang sudah di kenal oleh masyarakat sejak tahun 1820,
tokoh benjang yang terkenal saat itu, antara lain H. Hayat dan Wiranta.
Kemudian ia menjelaskan mengenai asal-usul benjang adalah dari desa Ciwaru
Ujungberung, ada juga yang menyebutkan dari Cibolerang Cinunuk, ternyata kedua
daerah ini sampai sekarang merupakan tempat berkumpulnya tokoh-tokoh benjang,
mereka berusaha mempertahankan agar benjang tetap ada dan lestari, tokoh
benjang saat ini yang masih ada, antara lain Adung, Adang, Ujang Rukman, Nadi,
Emun, dan masih ada lagi tokoh yang lainnya yang belum sempat penulis catat. Seperti
kita ketahui bahwa negara kita yang tercinta ini kaya dengan seni budaya
daerah. Ini terbukti masing-masing daerah memiliki kesenian tersendiri (khas),
seperti benjang adalah salah satu seni budaya tradisional Jawa Barat, khususnya
di Kabupaten Bandung dan ternyata di daerah lainpun ada seni budaya tradisional
semacam benjang, seperti di daerah Aceh disebut Gedou – gedou, di daerah
Tapanuli (Sumut) disebut Marsurangut, di daerah Rembang disebut Atol, di daerah
Jawa Timur disebut Patol, di daerah Banjarmasin disebut Bahempas, di daerah
Bugis/Sulsel disebut Sirroto, dan di daerah Jawa Barat disebut Benjang.
Benjang merupakan suatu bentuk
permainan tradisional yang tergolong jenis pertunjukan rakyat. Permainan
tersebut berkembang (hidup) di sekitar Kecamatan Ujungberung, Cibolerang, dan
Cinunuk yang mulanya kesenian ini berasal dari pondok pesantren, yaitu sejenis
kesenian tradisional yang bernapaskan keagamaan (Islam), dihubungkan dengan
religi, benjang dapat dipakai sebagai media atau alat untuk mendekatkan diri
dengan Kholiqnya sebab sebelum pertunjukan, pemain benjang selalu melaksanakan
tatacara dengan membaca do’a – do’a agar dalam pertunjukan benjang tersebut
selamat tidak ada gangguan. Adapun alat yang digunakan dalam benjang terdiri
dari Terbang, Gendang (kendang), Pingprung, Kempring, Kempul, Kecrek, Terompet
(Tarompet), dan dilengkapi pula dengan bedug dan lagu sunda. Dari pondok
pesantren, kesenian ini menyebar ke masyarakat biasanya di masyarakat
diselenggarakan dalam rangka memperingati upacara 40 hari kelahiran bayi,
syukuran panen padi, maulid nabi, upacara khitanan, perkawinan, dan hiburan
lainnya, dan dapat pula mengiringi gerak untuk dipertontonkan yang disebut
“DOGONG”.
Dogong adalah suatu permainan
saling mendorong dengan mempergunakan alu (kayu alat penumbuk padi). Dari
Dogong berkembang menjadi “SEREDAN” yang mempunyai arti permainan saling
mendesak tanpa alat, yang kalah dikeluarkan dari arena (lapangan); kemudian
dari Seredan berubah menjadi adu mundur, ini masih saling mendesak untuk
mendesak lawan dari dalam arena permainan tanpa alat, memdorong lawan dengan
pundak, tidak diperkenankan menggunakan tangan, karena dalam permainan ini
pelanggaran sering terjadi terutama bila pemain hampir terdesak keluar arena.
Dengan seringnya pelanggaran dilakukan maka permainan adu mundur digantikan
oleh permainan adu munding. Permainan benjang sebenarnya merupakan perkembangan
dari adu munding atau adu kerbau yang lebih mengarah kepada permainan gulat
dengan gerakan menghimpit lawan (piting). Sedangkan pada adu munding tidak
menyerat – menyerat lawan keluar arena melainkan mendorong dengan cara
membungkuk (merangkak) mendesak lawan dengan kepalanya seperti munding (kerbau)
bertarung. Namun gerakan adu mundur, maupun adu munding tetap menjadi gaya
seseorang dalam permainan benjang. Permainan adu munding dengan menggunakan
kepala untuk mendesak lawan, dirasakan sangat berbahaya, sekarang gaya itu
jarang dipakai dalam pertunjukan benjang. Peserta permainan benjang sampai saat
ini baru dimainkan oleh kaum laki-laki terutama remaja (bujangan), tetapi bagi
orang yang berusia lanjutpun diperbolehkan asal mempunyai keberanian dan hobi.
Apabila kita membandingkan perkembangan benjang
zaman dahulu dengan sekarang pada prinsipnya tidak ada perbedaan yang begitu
mencolok, hanya pertandingan benjang zaman dahulu, apabila pemain benjang masuk
ke dalam arena biasanya suka menampilkan ibingan dengan mengenakan kain sarung
sambil diiringi musik tradisional yang khas, kemudian setelah berhadapan dengan
musuh mereka membuka kain sarung masing-masing, berikut pakaian yang ia pakai
di atas panggung, yang tersisa hanya celana pendek saja menandakan dirinya
bersih, tidak membawa suatu alat (sportif). Setelah itu, penabuh alat-alat
musik benjang dengan penuh semangat membunyikan tabuhannya dengan irama
Bamplang (semacam padungdung dalam irama pencak silat), maka setelah mendengar
musik dimulailah pertandingan benjang, dalam pertandingan ini karena tidak ada
wasit mungkin saja di antara pemain ada yang licik atau curang sehingga bisa
mengakibatkan lawannya cidera. Apabila ada seorang pemain benjang posisinya
sudah berada di bawah pertandingan seharusnya diberhentikan karena lawannya
sudah menyerah. Namun, karena tidak ada yang memimpin pertandingan (wasit)
akhirnya lawan dikunci sampai tidak bisa mengacungkan tangan yang berarti
lawannya bermain curang, apabila pemain benjang yang curang itu ketahuan oleh
pihak yang merasa dirugikan akan menimbulkan keributan (ricuh) terutama dari
penonton, tetapi apabila pemain benjang itu bertanding dengan bersih dan
sportif maka pihak yang kalah akan menerimanya walaupun mengalami cidera, sebab
sebelumnya sudah mengetahui peraturan pertandingan benjang apabila salah
seorang mengalami cidera tidak akan ada tuntutan. Seorang pemain benjang
dinyatakan kalah setelah berada di bawah dalam posisi terlentang, melihat tanda
seperti itu wasit langsung memberhentikan pertandingan dan lawan yang
terlentang tadi dinyatakan kalah (sekarang). Pertandingan benjang seperti zaman
dahulu sudah tidak dilakukan lagi, sebab sekarang sudah ada wasit yang memimpin
pertandingan, dan dilaksanakan di atas panggung yang memakai alas semacam
matras sehingga tidak begitu membahayakan pemain benjang (tukang benjang).
Komentar
Posting Komentar