Migrasi
bukanlah fenomena yang baru. Selama berabad-abad, manusia telah melakukan
perjalanan untuk berpindah mencari kehidupan yang lebih baik di tempat yang
lain. Dalam beberapa dekade terakhir ini, proses globalisasi telah meningkatkan
faktor yang mendorong para imigran untuk mencari peruntungan di luar negeri.
Hal ini kemudian menyebabkan meningkatnya jumlah aktivitas migrasi dari
negara-negara berkembang di Asia, Afrika, Amerika Selatan dan Eropa Timur ke Eropa
Barat, Australia dan Amerika Utara. Berangkat dari fenomena ini lah kemudian
muncul praktek penyimpangan, yaitu melakukan aksi untuk memindahkan manusia ke
negara-negara tujuan secara ilegal karena batasan dan ketidakmampuan dari para
imigran dalam memenuhi syarat sebagai imigran resmi.
People smuggling adalah sebuah kejahatan. Dikatakan demikian karena people smuggling secara jelas melanggar
ketentuan-ketentuan resmi dari negara-negara yang bersangkutan. Telah diakui
bahwa people smuggling merupakan
suatu tindakan melanggar hak asasi manusia dan bentuk perbudakan kontemporer.
Para imigran diperlakukan dengan tidak baik. Sangat sering kondisi perjalanan
yang tidak manusiawi; ditumpuk dalam angkutan (umumnya perahu) yang penuh dan
sesak, dan bahkan sering terjadi kecelakaan yang fatal. Setibanya di tempat
tujuan, status ilegal mereka menyebabkan mereka terpaksa menjadi budak para
penyelundup yang memaksa bekerja selama bertahun-tahun di pasar tenaga kerja
ilegal. Para imigran secara tidak langsung dieksploitasi oleh pihak tertentu
demi keuntungan materil (Ibid).
People smuggling menjadi lahan bisnis tersendiri
yang sangat menguntungkan. Diperkirakan setiap tahunnya dapat menghasilkan
keuntungan sebesar lima hingga sepuluh juta dolar. Berdasarkan perkiraan
tersebut, setidaknya satu juta imigran harus membayar rata-rata sebesar lima
hingga sepuluh ribu dolar secara paksa ketika melintasi perbatasan antar
negara. Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mencatat bahwa
penyelundupan manusia, yang merupakan “sisi gelap” dari globalisasi, adalah
sebuah bisnis besar yang kian tumbuh dan berkembang (Philip Martin & Mark
Miller, 2000: 969). Selain itu, people smuggling juga
menimbulkan masalah tersendiri bagi negara tempat mereka meminta suaka. Hal ini
juga melanda negara Indonesia.
Pada bulan Oktober dan November
2009 lalu, aparat keamanan Republik Indonesia menangkap serombongan imigran
dari dua negara, Sri Lanka dan Afganistan, karena memasuki wilayah Indonesia di
daerah Banten. Kejadian pada tanggal 11 Oktober 2009 lalu, sebanyak 255 imigran
asal Sri Lanka, yang menaiki kapal kayu pengangkut barang, ditangkap di
perariran Selat Sunda. Kemudian pada tanggal 15 November 2009, giliran 40
imigran asal Afganistan yang ditangkap di daerah Labuan, Kabupaten Pandeglang,
Banten. Pada awalnya Pemerintah memperlakukan para imigran dengan baik dengan
alasan menyunjung Hak Asasi Manusia. Namun kemudian muncul pertanyaan sampai
kapan perhatian itu harus diberikan; merelakan para imigran sebagai tanggungan
negara Indonesia menjadi masalah tersendiri yang dihadapi oleh Pemerintah,
terutama Pemerintah Daerah Provinsi Banten.
Penjelasan di atas adalah salah
satu contoh kasus tentang penyelundupan orang yang terjadi di Indonesia. Banyak
para imigran gelap yang diselundupkan dengan negara tujuan ke Australia,
melewati perairan Indonesia sehingga Indonesia terkena imbasnya. Namun
demikian, maraknya kejadian penyelundupan manusia yang berhasil dideteksi oleh
aparat keamanan ternyata dapat terjadi dengan adanya kontribusi dari orang
Indonesia sendiri. Salah satunya adalah nelayan-nelayan Indonesia yang
dilibatkan dalam usaha menyelundupkan para imigran tersebut dengan
diming-imingi sejumlah uang. Dalam pemberitaan yang lain, dalam kasus 74
imigran gelap asal Iran dan Afganistan di Yogyakarta, juga melibatkan para
nelayan.
Masalah
penyelundupan manusia yang melanda Indonesia semakin serius. Jika pada awalnya
para imigran gelap yang tertangkap oleh aparat keamanan Republik Indonesia di
perbatasan wilayah negara adalah merupakan kelompok yang memiliki tujuan untuk
ke negara Australia, dan menjadikan Indonesia sebagai negara transit saja, kini
malah negara Indonesia yang menjadi tujuan utama.
Praktek penyelundupan orang atau people smuggling telah meningkat dalam beberapa dekade
terakhir dan pada saat ini, laporan signifikan mengenai jumlah imigrasi tidak
resmi terus meningkat di berbagai negara. People smuggling umumnya
dapat terjadi dengan persetujuan dari orang atau kelompok yang berkeinginan
untuk diselundupkan, dan alasan yang paling umum dari mereka adalah peluang
untuk mendapatkan pekerjaan atau memperbaiki status ekonomi, harapan untuk
mendapatkan penghidupan yang lebih baik bagi diri sendiri atau keluarga, dan
juga untuk pergi menghindari konflik yang terjadi di negara asal.
Menurut
laporan yang dimuat di website Organisasi
Polisi Internasional (Interpol), pada tahun 2006 hampir 31.000 imigran,
setengahnya berasal dari Senegal, berbondong-bondong bergerak menuju kepulauan
Canary, Spanyol. Para imigran gelap cenderung melakukan perjalanan dengan menggunakan
perahu dalam perjalanan di laut terbuka dengan jarak yang demikian jauh. Sejak
tahun 2003, telah ada perpindahan yang signifikan dari para imigran Irak dan
terus meningkat hingga tahun 2006. Sebagian besar dari mereka telah melarikan
diri ke Yordania dan Suriah, tetapi tetap ditemui pergerakan yang signifikan ke
arah Eropa, Amerika dan Australia.
Organisasi Internasional untuk
Migrasi (IOM) memperkirakan bahwa, secara global, empat juta orang dipindahkan
secara ilegal setiap tahunnya. Hal ini dapat terjadi karena praktek
menyelundupkan manusia sangat menguntungkan, beresiko relatif lebih rendah dan
seiring dengan meningkatnya kerja jaringan kejahatan teroganisir dalam ruang
lingkup internasional. Sementara itu, Pemerintahan Australia menyatakan bahwa
selama periode dari tahun 1999 hingga tahun 2001 kecenderungan dalam
aktivitas penyelundupan manusia terus berkembang, ditunjukkan dengan
peningkatan yang signifikan terhadap jumlah pendatang yang tidak sah dengan
menggunakan perahu Namun dalam kasus Australia, permasalahan people smuggling mengalami penurunan akibat kebijakan yang
dicanangkan oleh Depeartemen Imigrasi, Multikultural dan Urusan Pribumi (DIMIA)
dengan penghentian hampir menyeluruh terhadap kapal-kapal yang tidak sah dalam
beberapa tahun terakhir. Mengacu kepada laporan DIMIA, pada tahun 2004 hingga
2005, terdapat 94 kasus baru people smuggling, angka ini merupakan penurunan
sebesar 26,6% dibandingkan tahu 2003 dan 2004. Selain itu, 88 kasus people smuggling diselesaikan pada tahun yang sama,
yang juga merupakan penurunan sebesar 38,5% dibandingkan tahun sebelumnya.
Hal ini berbeda dengan
Indonesia, hingga tahun 2010 kasus people smuggling terus meningkat dengan berbagai modus
operandi. Jumlah kasus imigran gelap yang masuk ke Indonesia selama periode
Bulan Januari hingga Bulan Mei, tahun 2010 mencapai 61 kasus. Angka ini
merupakan peningkatan yang sangat signifikan karena mencapai hampir 100% dari
jumlah kasus ditahun sebelumnya, yaitu sebesar 31 kasus. Jumlah imigran gelap
yang masuk ke Indonesia pada tahun 2010 mengalami peningkatan sebesar 5,7%,
atau meningkat sebesar 67 orang sehingga jumlah imigran pada tahun 2010 adalah
1.245 imigran, sedangkan di tahun 2009 adalah 1.178 imigran. Selain itu,
Direktorat Jenderal Imigrasi juga mencatat bahwa Pemerintah Indonesia
mengirimkan kembali para imigran ke negara asal, sedikitnya 1.290 orang imigran
gelap, setiap tahunnya.
People smuggling atau persoalan imigran gelap
adalah sebuah permasalahan yang menjadi sebuah tantangan besar bagi para
penegak hukum, baik nasional dan internasional, dan juga mempengaruhi bagi
perkembangan kebijakan dan undang-undang tentang imigrasi bagi negara-negara di
dunia.
Komentar
Posting Komentar